Apresiasi Puisi di Masa Kini

Chairil Anwar; "Si Binatang Jalang" pelopor Angkatan '45

Chairil Anwar; “Si Binatang Jalang” pelopor Angkatan ’45

Hari ini, 26 Juli, diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia berdasarkan tanggal lahir Chairil Anwar. Tanggal tersebut dipilih karena Chairil Anwar memberikan dedikasi atas kebangkitan puisi modern di Indonesia.

Peringatan ini merupakan hasil deklarasi yang dibacakan oleh Sutardji Calzoum Bahri yang didampingi oleh 40 penyair. Dengan demikian, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki hari monumental untuk merayakan puisi Indonesia.

Puisi, dengan keanekaragamannya, perlahan mengambil posisi penting dalam bangsa ini. Ia hadir dengan kekuatan yang digawangi tidak hanya oleh penyair yang sudah ada tetapi oleh penyair-penyair muda yang mulai bermunculan.

Kuantitas yang menggembirakan ini harus dibarengi dengan kualitas yang mumpuni. Di koran, pernah ada pengamat sastra yang menulis bahwa dunia perpuisian (khususnya di Yogyakarta) masih didominasi oleh komunitas sastra saja alias belum menjadi milik khalayak. Masyarakat belum bisa akrab dengan acara pembacaan puisi. Ini ditandai dengan pendengarnya yang kebanyakan adalah sastrawan sendiri yang berasal dari komunitasnya sendiri, komunitas lain, maupun dari “sastrawan lepas”.

Masyarakat pada umumnya masih beranggapan bahwa puisi itu ketinggalan zaman dan terkesan “kaya wong tuwa”. Buku-buku puisi belum bisa bersanding dengan deretan buku-buku cerpen dan novel di toko buku. Bagaimana buku puisi bisa bersanding di sana, sedangkan masyarakat lebih berminat mengoleksi cerpen dan novel ketimbang buku puisi?

Padahal, puisi berada di mana saja. Di status media sosial, di media cetak dan online, bahkan di baliho yang berbalut iklan. Dengan keluwesan, keindahan, dan kekuatannya, kata-kata itu menjadi medium yang bermakna dan mampu memengaruhi masyarakat walaupun tanpa disadari medium itu bernilai puisi. Puisi sebenarnya melekat di kehidupan masyarakat.

Mengapresiasi puisi bisa dilakukan juga dengan memilih puisi sebagai sumber idenya dalam karya seni maupun karya ilmiah. Kepuasan dalam menggali makna dan keindahan puisi (untuk dijadikan karya seni dengan mengadaptasi puisi) bisa jadi menyamai dan bahkan dapat melebihi media sastra yang lain seperti biografi, teks sejarah dan nonfiksi, cerpen, dan novel. Puisi, dengan ketebalan lapisan makna di dalam dan di antara rangkaian kata-kata, mampu meliarkan imajinasi kita.

Salah satu karya seni yang akrab dengan puisi adalah musik puisi (atau musikalisasi puisi, lagu puisi, puisi bernyanyi, dan berbagai istilah lain). Musik puisi memiliki kekuatan yang menakjubkan karena musik puisi menyajikan puisi dengan cara memberikan penegasan, melapiskan makna, dan menggali bebunyian yang dihasilkan oleh puisi tersebut.

Sama halnya dengan acara pembacaan puisi, nasib musik puisi pun sama. Dengan gaya yang itu-itu saja dan penggalian ide atas puisi yang monoton, musik puisi pada umumnya belum mampu memikat masyarakat. Sebabnya, sedikit sekali komponis yang menggubah musik berdasarkan puisi, sehingga keberadaannya semakin tenggelam oleh penciptaan lagu (song writing). Di sisi lain, musik puisi banyak dilahirkan dari seniman nonmusisi, seperti seniman teater dan seniman sastrawan, sehingga eksplorasi bunyinya dirasa masih kurang. Apalagi kenyataannya dibarengi dengan perdebatan tentang bagaimana yang pantas disebut musik puisi ataupun perdebatan mengenai istilahnya yang tak kunjung berakhir, namun tak dibarengi dengan semangat berkarya musik puisi.

Alm. Mas Hari Leo AER pernah mengatakan kepada saya bahwa harus ada kerja sama antara komponis dan penyair demi terciptanya musik puisi yang berkualitas tinggi. Artinya, ada diskusi antara seniman yang memahami musik dan seniman yang memahami sastra. Bisa jadi seorang seniman dapat berbekal pengetahuan (bahkan berlatar belakang pendidikan) musik dan sastra sekaligus.

Selain musik puisi, karya-karya lainnya seperti seni rupa, teater, desain grafis, dan film dapat menjadi karya adaptasi atas puisi. Puisi memiliki kemungkinan yang sangat luas untuk direspon. Satu puisi saja bisa memiliki berbagai kemungkinan karya musik puisi dari komponis yang berbeda-beda, apalagi satu puisi direspon ke dalam media yang lain? 😀

Mengadaptasi puisi adalah hal yang menyenangkan. Bagi yang belum pernah, jangan ragu dan takut untuk melakukannya. William S. Burroughs, novelis Amerika, mengatakan, “The work of other writers is one of writer’s main sources of input, so don’t hesitate to use it; just because somebody else has an idea doesn’t mean you can’t take the idea and develop a new twist for it; adaptations may become quite legitimate adoptions.”

Saya berharap, banyaknya apresiasi yang baik terhadap puisi dapat mendidik masyarakat secara tidak langsung bahwa puisi merupakan karya seni yang melekat di kehidupan manusia.

Sebagai kesimpulan, lewat momentum Hari Puisi Indonesia, mari kita tingkatkan kesadaran apresiasi terhadap puisi. Bagi seniman dan pemerhati sastra (saya dan siapapun itu), mari mengevaluasi lagi paradigma yang diterima oleh masyarakat tentang puisi saat ini.

Puisi itu indah dan mengindahkan hidup kita. Puisi itu kuat dan menguatkan bangsa kita. Puisi itu tanda dan menandai fenomena manusia.

(buah pikiran untuk Hari Puisi Indonesia dari Jay Afrisando; komponis dan saxophonis. Tinggal di Yogyakarta.)